Layaknya seorang ahli kungfu, lelaki kurus yang berdiri dengan separuh tubuh terendam dalam kolam itu menggerakkan tangannya, mengikuti arah gerakan ikan arwana. Sorot matanya tajam mencermati tiap arwana yang berlalu lalang di hadapannya.
Sekitar 10 orang memegang jaring, membantu menggiring puluhan arwana ke arahnya. Si paruh baya akhirnya menemukan satu arwana jantan yang dia cari.
Ikan arwana atau arowana super red (Scleropages formosus) jantan sepanjang 60 sentimeter itu diam, tidak menggeliat dalam genggaman kedua tangan si paruh baya. Ikan purba asli Kalimantan Barat—oleh penduduk setempat disebut silok—itu sengaja ditangkap karena hendak “dipanen”.
Dalam berkembang biak, tugas arwana betina hanyalah bertelur. Kemudian, sang induk jantan memeram dan memelihara telur itu di dalam mulut (mouthbrooder dan mouthbreeder). Pekerjaan itu dilakukan sang jantan selama 40-50 hari hingga telur menjadi anak ikan yang mandiri.
“Memanen” adalah istilah yang biasa dipakai para penangkar ikan arwana untuk proses mengambil anak ikan dari dalam mulut si induk jantan. Itulah yang dilakukan lelaki kurus bernama Mingku, 38 tahun.
Sesaat setelah arwana jantan ditangkap, jemari tangan kanan Mingku yang berkaus tangan membuka mulut ikan tersebut. Keluarlah puluhan anak ikan yang berukuran 7-8 sentimeter. Satu demi satu anak ikan arwana tersebut dimasukkan ke kantong plastik berisi air untuk selanjutnya dipelihara dalam akuarium.
Bagi yang tidak terbiasa melihat proses “memanen” arwana, tahapan-tahapan pekerjaan itu mendebarkan. Apalagi jika proses membuka mulut arwana tidak sempurna, panen bisa gagal karena anak ikan dapat mati tergigit induknya. Jika hal tersebut sampai terjadi, kerugian besar diderita penangkar. Pasalnya, seekor anak ikan berukuran 10-12 sentimeter harganya lebih dari Rp 5 juta.
Kalau sang induk jantan yang mati atau rusak tubuhnya akibat perlakuan yang ceroboh, kerugian lebih besar lagi. Harga seekor induk arwana merah Rp 90 juta hingga ratusan juta rupiah. Kecerobohan juga dapat membuat jemari si pemanen terluka tergigit deretan gigi ikan yang tajam.
“Memperlakukan arwana tidak bisa kasar. Menangkap atau memanen ikan harus dengan penuh perasaan, tangan kita harus mengikuti arah gerakan berenangnya. Kalau ikan itu mau meloncat, ya, tangan kita cukup mengikuti gerakkannya saja, sampai ikan itu tenang dan menurut saat dipegang atau dibuka mulutnya,” kata Mingku, di sela-sela memanen ikan di kolam penangkaran milik PT Inti Kapuas Arowana (IIKP) Tbk yang berada di Penepat, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat.
Ilmu ikan
Lelaki kelahiran Pontianak, 15 Oktober 1968, ini merupakan salah satu ahli menjinakkan arwana yang dimiliki PT IIKP. Pergumulannya selama hampir 22 tahun dengan ikan arwana, membuatnya cukup memahami bagaimana sebaiknya memperlakukan ikan yang tergolong terancam punah itu.
Suami dari Ng Sok Hia (36) ini bisa mengetahui jika arwana yang dipeliharanya sakit, hanya dengan melihat gaya ikan berenang dan kondisi sisiknya. Ia juga dengan mudah bisa menenangkan ikan yang terkadang “stres” saat hendak dipanen.
Tak mengherankan jika ia dipercaya menjadi salah satu kepala kolam penangkaran di Teluk Lerang, Kabupaten Pontianak, tersebut sejak beberapa tahun terakhir.
“Arwana pada dasarnya agresif. Jika tidak berhati-hati memperlakukannya, ikan akan loncat dan menabrak orang yang mendekatinya. Jika sampai wajah ditabrak induk arwana ukuran lebih dari setengah meter, rasanya seperti dipukul orang dewasa,” kata Mingku.
Untuk memahami perilaku arwana, Mingku mengaku berguru pada Ng Ha Tau (66) yang juga ahli menangkarkan ikan arwana. Perjumpaan dengan Ng Ha Tau terjadi saat ia masih duduk di bangku kelas I SMA St Petrus, Pontianak. Saat itu ia berkawan akrab dengan Ng Sok Hia, putri Ng Ha Tau. Perempuan inilah yang kemudian hari, tepatnya pada Desember 1991, dipersunting Mingku.
“Bagi saya, dia (Ng Ha Tau) adalah mertua sekaligus guru. Dialah yang memperkenalkan saya dengan ikan arwana, serta bagaimana memperlakukan arwana dengan baik. Dia sering kali menjadi tempat bertanya di saat saya tidak mengetahui banyak hal mengenai arwana. Dia juga yang mengajari menjinakkan arwana, sehingga bisa merasakan seperti menari mengikuti gerakan ikan,” kata bapak dari Monica (15), Patricia (11), dan Stasia (8) itu.
Pelajaran dari Ng Ha Tau yang selalu terngiang di benaknya adalah orang harus tekun karena “ilmu” tentang arwana tidak pernah ada habisnya. Selain itu, kesabaran, tidak berwatak pendendam adalah syarat mutlak.
“Orang yang memiliki ego yang tinggi akan sulit menguasai cara menjinakkan arwana. Perlu kesabaran untuk mau mengerti perilaku ikan arwana. Jika arwana menabrak wajah, kita tidak boleh dendam dan memperlakukannya dengan kasar. Pada dasarnya, ikan itu loncat dari dalam air karena ia terusik. Ikan itu juga tidak sengaja menabrak wajah kita. Jika diperlakukan dengan kasar, ikan itu menjadi semakin agresif,” kata Mingku lagi.
“Ilmu” ikan tidak pernah habis. Ilmu itu justru akan semakin berkembang saat “ditularkan” kepada orang lain. Pemahaman akan kearifan inilah yang membuat Mingku juga tidak segan mengajari orang lain. Tentu saja, orang yang hendak belajar haruslah berwatak lembut dan penyabar.
Sekitar 10 orang memegang jaring, membantu menggiring puluhan arwana ke arahnya. Si paruh baya akhirnya menemukan satu arwana jantan yang dia cari.
Ikan arwana atau arowana super red (Scleropages formosus) jantan sepanjang 60 sentimeter itu diam, tidak menggeliat dalam genggaman kedua tangan si paruh baya. Ikan purba asli Kalimantan Barat—oleh penduduk setempat disebut silok—itu sengaja ditangkap karena hendak “dipanen”.
Dalam berkembang biak, tugas arwana betina hanyalah bertelur. Kemudian, sang induk jantan memeram dan memelihara telur itu di dalam mulut (mouthbrooder dan mouthbreeder). Pekerjaan itu dilakukan sang jantan selama 40-50 hari hingga telur menjadi anak ikan yang mandiri.
“Memanen” adalah istilah yang biasa dipakai para penangkar ikan arwana untuk proses mengambil anak ikan dari dalam mulut si induk jantan. Itulah yang dilakukan lelaki kurus bernama Mingku, 38 tahun.
Sesaat setelah arwana jantan ditangkap, jemari tangan kanan Mingku yang berkaus tangan membuka mulut ikan tersebut. Keluarlah puluhan anak ikan yang berukuran 7-8 sentimeter. Satu demi satu anak ikan arwana tersebut dimasukkan ke kantong plastik berisi air untuk selanjutnya dipelihara dalam akuarium.
Bagi yang tidak terbiasa melihat proses “memanen” arwana, tahapan-tahapan pekerjaan itu mendebarkan. Apalagi jika proses membuka mulut arwana tidak sempurna, panen bisa gagal karena anak ikan dapat mati tergigit induknya. Jika hal tersebut sampai terjadi, kerugian besar diderita penangkar. Pasalnya, seekor anak ikan berukuran 10-12 sentimeter harganya lebih dari Rp 5 juta.
Kalau sang induk jantan yang mati atau rusak tubuhnya akibat perlakuan yang ceroboh, kerugian lebih besar lagi. Harga seekor induk arwana merah Rp 90 juta hingga ratusan juta rupiah. Kecerobohan juga dapat membuat jemari si pemanen terluka tergigit deretan gigi ikan yang tajam.
“Memperlakukan arwana tidak bisa kasar. Menangkap atau memanen ikan harus dengan penuh perasaan, tangan kita harus mengikuti arah gerakan berenangnya. Kalau ikan itu mau meloncat, ya, tangan kita cukup mengikuti gerakkannya saja, sampai ikan itu tenang dan menurut saat dipegang atau dibuka mulutnya,” kata Mingku, di sela-sela memanen ikan di kolam penangkaran milik PT Inti Kapuas Arowana (IIKP) Tbk yang berada di Penepat, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat.
Ilmu ikan
Lelaki kelahiran Pontianak, 15 Oktober 1968, ini merupakan salah satu ahli menjinakkan arwana yang dimiliki PT IIKP. Pergumulannya selama hampir 22 tahun dengan ikan arwana, membuatnya cukup memahami bagaimana sebaiknya memperlakukan ikan yang tergolong terancam punah itu.
Suami dari Ng Sok Hia (36) ini bisa mengetahui jika arwana yang dipeliharanya sakit, hanya dengan melihat gaya ikan berenang dan kondisi sisiknya. Ia juga dengan mudah bisa menenangkan ikan yang terkadang “stres” saat hendak dipanen.
Tak mengherankan jika ia dipercaya menjadi salah satu kepala kolam penangkaran di Teluk Lerang, Kabupaten Pontianak, tersebut sejak beberapa tahun terakhir.
“Arwana pada dasarnya agresif. Jika tidak berhati-hati memperlakukannya, ikan akan loncat dan menabrak orang yang mendekatinya. Jika sampai wajah ditabrak induk arwana ukuran lebih dari setengah meter, rasanya seperti dipukul orang dewasa,” kata Mingku.
Untuk memahami perilaku arwana, Mingku mengaku berguru pada Ng Ha Tau (66) yang juga ahli menangkarkan ikan arwana. Perjumpaan dengan Ng Ha Tau terjadi saat ia masih duduk di bangku kelas I SMA St Petrus, Pontianak. Saat itu ia berkawan akrab dengan Ng Sok Hia, putri Ng Ha Tau. Perempuan inilah yang kemudian hari, tepatnya pada Desember 1991, dipersunting Mingku.
“Bagi saya, dia (Ng Ha Tau) adalah mertua sekaligus guru. Dialah yang memperkenalkan saya dengan ikan arwana, serta bagaimana memperlakukan arwana dengan baik. Dia sering kali menjadi tempat bertanya di saat saya tidak mengetahui banyak hal mengenai arwana. Dia juga yang mengajari menjinakkan arwana, sehingga bisa merasakan seperti menari mengikuti gerakan ikan,” kata bapak dari Monica (15), Patricia (11), dan Stasia (8) itu.
Pelajaran dari Ng Ha Tau yang selalu terngiang di benaknya adalah orang harus tekun karena “ilmu” tentang arwana tidak pernah ada habisnya. Selain itu, kesabaran, tidak berwatak pendendam adalah syarat mutlak.
“Orang yang memiliki ego yang tinggi akan sulit menguasai cara menjinakkan arwana. Perlu kesabaran untuk mau mengerti perilaku ikan arwana. Jika arwana menabrak wajah, kita tidak boleh dendam dan memperlakukannya dengan kasar. Pada dasarnya, ikan itu loncat dari dalam air karena ia terusik. Ikan itu juga tidak sengaja menabrak wajah kita. Jika diperlakukan dengan kasar, ikan itu menjadi semakin agresif,” kata Mingku lagi.
“Ilmu” ikan tidak pernah habis. Ilmu itu justru akan semakin berkembang saat “ditularkan” kepada orang lain. Pemahaman akan kearifan inilah yang membuat Mingku juga tidak segan mengajari orang lain. Tentu saja, orang yang hendak belajar haruslah berwatak lembut dan penyabar.